Senin, 28 Maret 2011
4 Lilin
Ada 4 lilin yang menyala, Sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka. Yang pertama berkata,
“Aku adalah Damai. Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.
Yang kedua berkata,
“Aku adalah Iman. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.
Dengan sedih giliran lilin ketiga bicara,
“Aku adalah Cinta. Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.
Tanpa terduga...Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan, ia pun berkata,
“Eh, apa yang terjadi? Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!”
Lalu ia mengangis tersedu-sedu.
Lalu dengan terharu lilin keempat berkata,
"Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya."
"Akulah HARAPAN.”
Dengan mata bersinar, sang anak mengambil lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya.
Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita, dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, Cinta dengan HARAPAN-nya.
Hermawayne
Jadilah seperti pensil
Seorang anak bertanya kepada neneknya yang sedang menulis sebuah surat.
"Nenek lagi menulis tentang pengalaman kita ya? atau tentang aku?"
Mendengar pertanyaan si cucu, sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya,
"Sebenarnya nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yang lebih penting dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai. Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti", ujar si nenek lagi.
Mendengar jawaban ini, si cucu kemudian melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.
"Tapi nek, sepertinya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya", Ujar si cucu.
Si nenek kemudian menjawab,
"Itu semua tergantung bagaimana kamu melihat pensil ini. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini", Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.
"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya".
"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik".
"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".
"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalam sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan menyadari hal-hal di dalam dirimu".
"Kualitas kelima, sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan".
Hermawayne
Jejak sepatu di karpet
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.
Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu: "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan." Ibu itu kemudian menutup matanya. "Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan, "Itu artinya tidak ada seorang pun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
"Sekarang bukalah mata ibu". Ibu itu membuka matanya, "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?"
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu di sana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming). Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita, sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :
-Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
-Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya IA berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
-Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.
-Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi.
-Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.
-Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.
-Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
-Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.
-Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.
-Untuk setiap permasalahan hidup yang saya hadapi, karena itu artinya Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi.
Hermawayne
Asap dan api
Suatu ketika, ada sebuah kapal yang tenggelam diterjang badai. Semuanya porak poranda. Tak ada awak yang tersisa, kecuali satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun nasib baik belum berpihak pada pria ini. Dia terdampar pada sebuah pulau kecil tak berpenghuni, sendiri, dan tak punya bekal makanan.
Dia terus berdoa pada Tuhan untuk menyelamatkan jiwanya. Setiap saat dipandangnya ke penjuru cakrawala, mengharap ada kapal yang datang merapat. Sayangnya pulau ini terlalu terpencil, hampir tak ada kapal yang mau melewatinya.
Lama kemudian, pria ini pun lelah untuk berharap. Lalu untuk menghangatkan badan, ia membuat perapian sambil mencari kayu dan pelepah nyiur untuk tempatnya beristirahat. Dibuatnya ruman-rumahan sekedar tempat untuk melepas lelah. Disusunnya semua nyiur dengan cermat agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.
Keesokan harinya, pria malang ini mencari makanan. Dicarinya buah-buahan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok dijelajahi, hingga kemudian ia kembali ke gubuknya. Namun ia terkejut, semuanya telah hangus terbakar, rata dengan tanah hampir tak bersisa. Gubuk itu terbakar karena perapian yang lupa dipadamkannya. Asap membubung tinggi, dan hilanglah semua kerja kerasnya semalam. Pria ini berteriak marah, "Ya Tuhan, mengapa Kau lakukan ini padaku. Mengapa?... Mengapa?", teriaknya melengking menyesali nasib.
Tiba-tiba terdengar peluit yang ditiup. Tuittt...tuuitttt. Ternyata ada sebuah kapal yang datang. Kapal itu mendekati pantai, dan turunlah beberapa orang menghampiri pria yang sedang menangisi gubuknya ini. Pria ini kembali terkejut, ia lalu bertanya, "Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada di sini?
Mereka menjawab, "Kami melihat simbol asapmu!!"
Sahabatku, sangat mudah memang bagi kita untuk marah saat musibah itu tiba. Nestapa yang kita terima tampak akan begitu berat saat terjadi dan berulang-ulang. Kita memang bisa memilih untuk marah, mengumpat, dan terus mengeluh. Namun teman, agaknya kita tak boleh kehilangan hati kita. Sebab Tuhan selalu ada pada hati kita walau dalam keadaan yang paling berat sekalipun.
Sahabatku, ingatlah, saat ada "asap dan api" yang membubung dan terbakar dalam hatimu, jangan kecil hati. Jangan sesali semua itu, jangan hilangkan perasaan sabar dalam kalbumu. Sebab, bisa jadi itu semua adalah sebagai tanda dan simbol bagi orang lain untuk datang padamu dan mau menolongmu. Sebab untuk semua hal buruk yang kita pikirkan akan selalu ada jawaban yang menyejukkan dari-Nya. Tuhan Maha Tahu yang terbaik buat kita. Jangan hilangkan harapan itu, dan semua pasti indah pada waktunya.
Hermawayne
Perumpamaan tentang perdamaian
Kedamaian bukan berarti berada di sebuah tempat dimana tidak ada keberisikan, masalah, atau kerja keras. Kedamaian berarti, berada di tengah-tengah semua hal tersebut dan tetap tenang di dalam hati. Sudahkah Anda berdamai dengan diri Anda sediri? Bacalah sepenggal kisah berikut.
Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan taktala mereka mendengar suara di kejauhan, "Kuek! Kuek!"
"Dengar," kata si istri, "Itu pasti suara ayam."
"Bukan, bukan. Itu suara bebek," kata si suami.
"Nggak, aku yakin itu ayam," si istri bersikeras.
"Mustahil. Suara ayam itu 'kukuruyuuuk!', bebek itu 'kuek! kuek!' Itu bebek, Sayang," kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
"Kuek! Kuek!" terdengar lagi.
"Nah, tuh! Itu suara bebek!," kata si suami.
"Bukan, Sayang.... Itu ayam! Aku yakin betul!" tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.
"Dengar ya! Itu a... da... lah... be... bek, B-E-B-E-K. Bebek! Tahu?!" si suami bekata dengan gusar.
"Tetapi itu ayam!" masih saja si istri bersikeras.
"Itu jelas-jelas bue... bek! Kamu ini... kamu ini...!"
Terdengar lagi suara, "Kuek! Kuek!" sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya. Si istri sudah hampir menangis, "Tetapi itu ayam...."
Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya dia teringat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut, dan katanya dengan mesra, "Maafkan aku, Sayang. Kurasa kamu benar, itu memang suara ayam."
"Terima kasih, Sayang," kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
"Kuek! Kuek!" terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.
Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar adalah : siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu. Berapa banyak pernikahan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal "ayam atau bebek"?
Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin, amat sangat mantap, mutlak, bahwa kita benar, namun belakangan ternyata kita salah?
Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek?
Hermawayne
Langganan:
Postingan (Atom)