Selasa, 08 Maret 2011

Ken johnson pengemis terkaya di dunia

Ken Johnson, 52, Pengemis Terkaya di dunia, Penghasilan Rp 418 JUTA/tahun. Dia selalu duduk di dekat toko Myer di Sydney’s CBD (Central Business Discrict), 16 jam sehari. Berbekal papan disampingnya, ia bisa mengumpulkan uang mencapai 418 juta dalam setahun dari para dermawan.

Tulisan yang dibawanya berbunyi ”Butuh bantuan untuk biaya hidup keluarga dan beli obat. Pembayaran penuh sangat membosankan. Tinggalkan saya sendirian jika anda orang yang tidak sopan dan kasar”. Dengan cara bertahan dalam kegiatan monoton itulah Pria asal Newcastle ini menghidupi dirinya di George and Market St. Pada hari biasa, ia mendapat uang antara 600 ribu hingga 1,2 juta rupiah sehari. Jika beruntung, 3,3 juta rupiah bisa masuk kantong dalam sehari.

“Saya kecewa jika mengemis sepanjang Jumat dan hanya mendapat 2 juta rupiah,” katanya. Ia menambahkan ia pulang saat sudah mendapat cukup uang atau memang ingin pulang, tapi di hari baik ia selalu duduk lebih lama dari hari biasa. Ketika Sunday Telegraph menemuinya, hari sedang baik. Dalam 20 menit, ia mendapat sekitar 250 ribu rupiah.

Bisnis sampingan SBY... karena gaji gak naik-naik

Ni Gan, usaha presiden Indonesia, Pak Beye..
terkait permintaan gaji yang ga naik-naik..
ternyata doi udah siapin usaha buat hari tua

Vivian Wheeler : Wanita Berjenggot

Funny Story - Vivian Wheeler memiliki jenggot terpanjang sedunia menurut Guinness Book of Records dengan panjang 11 inchi atau 27,94 cm.

Vivian tinggal di Bakersfield, California dan saat ini berusia 62 tahun dan pernah bekerja di sirkus.

Vivian terlahir dengan memiliki kondisi hypertrichosis atau yang dikenal dengan sindrom serigala dimana bulu-bulu atau rambut tumbuh secara berlebihan di wajah.Selain itu Vivian juga terlahir sebagai hermaphrodite atau memiliki 2 jenis kelamin.
Namun ketika masih kecil ibunya, yang mewariskan hypertricohisis kepadanya, meminta dokter untuk mengambil alat kelamin pria karena sang ibu menginginkan anak cewek.
Sedang sang ayah menyuruhnya pergi dan bekerja dibidang pertunjukkan saat berusia 5 tahun - dengan gaji $1,000 per bulan yang ia kirim ke rumah - karena malu dengan kondisi Vivian.

Vivian sendiri memiliki seorang anak cowok bernama Richard Lorenc, 33 tahun, dimana saat berusia 3 tahun, Richard terpaksa diambil dari Vivian dan kemudian diadopsi saat berusia 7 tahun.
Namun baru-baru ini keduanya berhasil bertemu setelah pihak departemen Sosial dan pelayanan Rehabilitasi menyelidiki selama 6 minggu untuk bisa mempertemukan Richard dengan ibunya tersebut.

Adapun Vivian saat ini mempertimbangkan untuk meninggalkan rumahnya di California untuk tinggal di Kansas, dekat dengan anaknya tersebut.

Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam

REPUBLIKA.CO.ID-Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.

Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.

Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.

Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:

Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.

Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.

Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.

Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.

Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.

Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.

Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.

“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.

Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”

“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.

“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”

Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.

Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.

Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.

“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”

“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”

Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.

Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.

Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.

Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”

“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”

“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”

Nenek Obama Naik Haji Doakan Obama Masuk Islam


TRIBUNNEWS.COM- Nenek Obama, Sarah Omar (88) bersama Saeed Hussein Obama mendoakan agar Barrack Obama presiden Amerika Serikat itu masuk Islam atau menjadi muallaf. Doa itu mereka panjatkan di Mekkah saat naik haji 2010 ini.

Nenek Obama yang berasal dari Kenya itu berangkat naik haji bersama paman Obama bernama Saeed Hussein Obama dan 4 cucunya juga. Mereka mendapat perhatian pemerintah Arab Saudi saat menjalankan ibadah haji.

"Aku berdoa agar cucuku, Barack, menjadi mualaf" kata Sarah Omar dalam wawancaranya dengan harian Al-Watan Saudi di Jeddah setelah menunaikan ibadah haji.

Harian itu dalam wawancaranya melaporkan, Omar hanya akan berbicara soal ibadah haji dan tidak ingin mengomentari kebijakan politik Obama, keponakannya. Keluarga nenek Obama ini mendapatkan jamuan khusus dari pemerintah Arab Saudi.

Hasil sejumlah jajak pendapat di AS Agustus lalu menunjukkan satu dari lima warga AS yakin apabila Obama adalah seorang Muslim. Namun, Gedung Putih membantahnya dengan menekankan pemimpin AS itu sebagai umat Nasrani yang taat beribadah.

Keluarga Obama di Kenya juga pernah menjadi sorotan media internasional ketika musim kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat. Begitu juga ketika Obama memenangkan pemilu dan sukses menjadi presiden pertama AS dari kulit hitam, keluarganya di Kenya pun disorot lagi saat meluapkan kegembiraan dan kebanggannya. (*)