Sabtu, 02 April 2011

Cerita seorang ibu tentang anak-anaknya

Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Surabaya sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.
”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?”, tanya si pemuda.
“Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2”, jawab ibu itu.
”Wow, hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.

Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?”
”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita:
”Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang.”

Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak ke-2 sampai ke-7.
”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?”
Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab,
”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”

Pemuda itu segera menyahut,
“Maaf ya Bu…...kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani.“
Dengan tersenyum ibu itu menjawab,
”Ooo, tidak, tidak begitu nak...justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani.”


Pelajaran Hari Ini: Semua orang di dunia ini penting. Buka matamu, pikiranmu, hatimu. Intinya adalah kita tidak bisa membuat ringkasan sebelum kita membaca buku itu sampai selesai. Orang bijak berbicara, “Hal yang paling penting adalah bukanlah SIAPAKAH KAMU tetapi APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN.”
by Hermawayne

Kisah hidup pendiri Honda

Amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda
selalu terbentur pada kendaraan bermerek Honda, baik berupa mobil
maupun motor. Merek kendaran ini memang selalu menyesaki padatnya
lalu lintas. Karena itu barangkali memang layak disebut sebagai raja
jalanan.
Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri kerajaan bisnis
Honda, Soichiro Honda,selalu diliputi kegagalan saat menjalani
kehidupannya sejak kecil hingga berbuah lahirnya imperium bisnis
mendunia itu. Dia bahkan tidak pernah bisa menyandang gelar insinyur.
Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak
pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru.

Saat merintis bisnisnya, Soichiro Honda selalu diliputi
kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari
kuliah. Namun, ia terus bermimpi dan bermimpi. Dan, impian itu
akhirnya terjelma dengan bekal ketekunan dan kerja keras. ''Nilaiku
jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya di
sekitar mesin, motor dan sepeda,'' tutur Soichiro, yang meninggal
pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat
mengidap lever.
Kecintaannya kepada mesin, jelas diwarisi dari ayahnya yang
membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko,
Jepang Tengah. Di kawasan inilah dia lahir. Kala sering bermain di
bengkel, ayahnya selalu memberi catut (kakak tua) untuk mencabut
paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat
mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki
kelahiran 17 November 1906 ini dapat berdiam diri berjam-jam. Tak
seperti kawan sebayanya kala itu yang lebih banyak menghabiskan waktu
bermain penuh suka cita. Dia memang menunjukan keunikan sejak awal.
Seperti misalnya kegiatan nekad yang dipilihnya pada usia 8 tahun,
dengan bersepeda sejauh 10 mil. Itu dilakukan hanya karena ingin
menyaksikan pesawat terbang.

Bersepada memang menjadi salah satu hobinya kala kanak-kanak.
Dan buahnya, ketika 12 tahun, Soichiro Honda berhasil menciptakan
sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Sampai saat itu, di
benaknya belum muncul impian menjadi usahawan otomotif. Karena dia
sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak
tampan, sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke kota, untuk bekerja di Hart
Shokai Company. Bossnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara
kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara
yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari
perhatiannya. Enam tahun bekerja di situ, menambah wawasannya tentang
permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, Saka Kibara mengusulkan
membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak
ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya kian membaik. Ia selalu
menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat
memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu,
jam kerjanya tak jarang hingga larut malam, dan terkadang sampai
subuh. Yang menarik, walau terus kerja lembur otak jeniusnya tetap
kreatif.
Kejeniusannya membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari
mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik untuk kepentingan meredam
goncangan. Menyadari ini, Soichiro punya gagasan untuk menggantikan
ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya
laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia.
Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani patennya yang
pertama. Setelah menciptakan ruji. Lalu Honda pun ingin melepaskan
diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Mulai saat itu dia
berpikir, spesialis apa yang dipilih ? Otaknya tertuju kepada
pembuatan ring piston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada
1938. Lalu, ditawarkannya karya itu ke sejumlah pabrikan otomotif.
Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak
memenuhi standar. Ring Piston buatannya tidak lentur, dan tidak laku
dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu dan
menyesalkan dirinya keluar dari bengkel milik Saka Kibara. Akibat
kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian,
kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi,
soal ring pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari
jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin.

Siang hari, setelah pulang kuliah, dia langsung ke bengkel
mempraktekkan pengetahuan yang baru diperoleh. Tetapi, setelah dua
tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang
mengikuti kuliah. ''Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak
diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang
hukum makanan dan pengaruhnya,'' ujar Honda, yang diusia mudanya
gandrung balap mobil. Kepada rektornya, ia jelaskan kuliahnya bukan
mencari ijazah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap
penghinaan. Tapi dikeluarkan dari perguruan tinggi bukan akhir
segalanya. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya diterima
pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Ini membawa Honda
berniat mendirikan pabrik. Impiannya untuk mendirikan pabrik mesinpun
serasa kian dekat di pelupuk mata.
Tetapi malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap
perang, tidak memberikan dana kepada masyarakat. Bukan Honda kalau
menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia lalu nekad
mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik.
Namun lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya
terbakar, bahkan hingga dua kali kejadian itu menimpanya.

Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan
karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang
dibuang oleh kapal Amerika Serikat, untuk digunakan sebagai bahan
mendirikan pabrik. Penderitaan sepertinya belum akan selesai. Tanpa
diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga
diputuskan menjual pabrik ring pinstonnya ke Toyota. Setelah itu,
Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Akhirnya, tahun 1947, setelah perang, Jepang kekurangan
bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak poranda. Sampai-sampai
Honda tidak dapat menjual mobilnya akibat krisis moneter itu. Padahal
dia ingin menjual mobil itu untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Dalam keadaan terdesak, ia lalu kembali bermain-main dengan
sepeda pancalnya. Karena memang nafasnya selalu berbau rekayasa
mesin, dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu. Siapa sangka,
sepeda motor-- cikal bakal lahirnya mobil Honda -- itu diminati oleh
para tetangga. Jadilah dia memproduksi sepeda bermotor itu. Para
tetangga dan kerabatnya berbondong-bondong memesan, sehingga Honda
kehabisan stok. Lalu Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak
itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut
mobilnya, menjadi raja jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Semasa hidup Honda selalu menyatakan, jangan dulu melihat
keberhasilanya dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah
kegagalan-kegagalan yang dialaminya. ''ORANG MELIHAT KESUKSESAN SAYA
HANYA SATU PERSEN. TAPI, MEREKA TIDAK MELIHAT 99 PERSEN KEGAGALAN SAYA,'' tuturnya. Ia memberikan petuah, ''KETIKA ANDA MENGALAMI KEGAGALAN, MAKA SEGERALAH MULAI KEMBALI BERMIMPI. DAN MIMPIKANLAH MIMPI BARU.'' Jelas kisah Honda ini merupakan contoh, bahwa sukses itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan hanya berasal dari keluarga miskin.

Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima


"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".



Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

- Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd) Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima

"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".


Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd)Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima

"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".


Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd)VIVAnews

Ahli Pengusir Leak dan Santet di Bali

480x360 Serahkan_ahlinya.jpg

Solusi Terakhir !

450x673 Solusi.jpg