Sabtu, 02 April 2011

Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima


"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".



Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

- Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd) Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima

"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".


Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd)Vonis Mati Buat Pahlawan Nuklir Fukushima

"Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib seperti menerima vonis mati.".


Jum'at, 18 Maret 2011, 11:26 WIB - Elin Yunita Kristanti

VIVAnews - Pesan menyedihkan dikirimkan salah seorang pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi kepada keluarganya. Bunyinya: "Kami sedang melakukan misi bunuh diri. Kami menerima nasib ini seperti menerima vonis mati."

Sekitar 200 pekerja PLTN Fukushima yang sering disebut 'Fukushima Fifty' berupaya me-restart sistem pendingin reaktor. Membagi diri menjadi empat shift, mereka bekerja bergantian sembari mempertaruhkan nyawa mereka.

Mereka bekerja di level radiasi yang bisa membunuh dalam seketika, atau paling tidak menyebabkan penyakit mengerikan di tahun-tahun mendatang. Para ahli mengatakan, baju pelindung yang dipakai para pekerja hanya bisa mencegah sedikit kontaminasi.

Grup pekerja ini nekat tetap tinggal di dalam PLTN, meski 700 rekan mereka lari menyelamatkan diri saat level radiasi naik ke level yang sangat berbahaya. Identitas mereka tidak diungkap, namun para ahli menduga mereka adalah teknisi garis depan dan para pemadam kebakaran yang tahu persis kondisi PLTN.

Diduga kuat mereka para lelaki yang berusia lebih tua dan dengan sadar memilih jadi sukarelawan karena sudah memiliki anak. Pekerja yang lebih muda terancam mandul karena tingginya dosis radiasi.

Satu televisi nasional Jepang mewawancarai salah seorang kerabat pekerja Fukushima. "Saat ini ayahku masih bekerja di pembangkit. Ia mengatakan, menerima nasibnya, seperti menerima vonis mati," kata dia seperti dimuat Daily Mail, Jumat, 18 Maret 2011.

Yang lain mengatakan, ayahnya yang sudah berusia 59 tahun jadi sukarelawan dan memilih tetap tinggal di Fukushima. "Aku dengar dia merelakan diri meski 1,5 tahun lagi akan memasuki masa pensiun. Mendengar itu, aku menangis." Padahal, katanya lagi, "Di rumah, Ayah tidak seperti sosok lelaki yang bisa menangani pekerjaan besar dan penting. Tapi hari ini aku sangat-sangat bangga. Aku berdoa ia bisa kembali dengan selamat."

Salah satu gadis yang sedang berharap-harap cemas menanti kabar ayahnya di Fukushima menceritakan dia tak pernah melihat ibunya menangis sedemikian hebat. Dalam akun Twitter-nya, dia menulis: "Orang-orang di reaktor sedang berjuang mengorbankan hidup mereka untuk melindungi kita semua," kata dia. "Ayah, aku mohon, kembalilah dengan selamat."

Dari pekerja yang memilih tinggal, lima di antaranya dilaporkan meninggal dunia, dua hilang, dan 21 lainnya terluka.
Salah seorang pekerja perempuan, Michiko Otsuki, yang mengaku bertugas saat reaktor nomor dua Fukushima meledak, menceritakan pengalamannya di Internet. "Saat alarm tsunami berdering kami tak bisa melihat apa yang terjadi, kami terus bekerja, meski sangat menyadari bahwa itu bisa berarti mati."

Diceritakan dia, mesin pendingin reaktor yang berada di dekat laut hancur diterjang tsunami. Semua orang bekerja mati-matian untuk memperbaikinya. "Melawan rasa lelah dan perut kosong, kami memaksa diri untuk terus bekerja."

Di tengah ketidakpastian nasib keluarga paska tsunami, dia menambahkan, para pekerja reaktor nuklir harus mengenyampingkan perasaan pribadi mereka dan terus bekerja.

Dr. Michio Kaku, seorang ahli teori fisika mengatakan kepada jaringan televisi ABC bahwa situasi telah memburuk di hari-hari terakhir ini. "Kita bicara soal para pekerja yang masuk ke reaktor nuklir, mungkin seperti sedang menjalankan misi bunuh diri."

Michael Friedlander, yang telah bekerja di manajemen krisis reaktor nuklir serupa di Amerika Serikat menambahkan, selama bekerja, para pekerja itu boleh jadi hanya dibekali ransum gaya militer dan minum air dingin untuk bertahan hidup.

"Suasana pasti sangat dingin dan gelap. Anda juga harus memastikan tak akan mencemari diri sendiri saat makan," kata dia. "Saya memastikan 100 persen, mereka yang sekarang ada di Fukushima benar-benar berkomitmen untuk membuat reaktor ini jadi aman, sekalipun dengan risiko nyawa."

Harian The New York Times mengungkapkan para pekerja itu merupakan kelompok terakhir yang dipertahankan di PLTN Fukushima Daiichi, di Jepang bagian timur laut. Di tengah gelap, mereka hanya bermodal senter untuk bergerak. Mereka harus memantau perkembangan terkini, seperti ledakan hidrogen yang telah terjadi berkali-kali sambil mencari cara agar perangkat inti PLTN tidak ikut hancur. Sebab, jika itu terjadi, akibatnya fatal. Zat radioaktif bisa menyebar dalam skala besar.

Maka, dalam dua hari terakhir, mereka berjuang memompa ratusan galon air laut setiap menit ke dalam reaktor yang rusak untuk mencegah lumernya komponen reaktor. (kd)VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar